Rabu, 17 Januari 2018

Artikel Keempat "Merawat Bahasa Daerah, Merajut Kebinekaan"

Rabu, Januari 17, 2018 0 Comments
Alhamdulillah,,,, Artikelku kembali dimuat di media massa. Kembali Koran Wawasan memuat artikel ilmiah populerku dengan judul "Merawat Bahasa Daerah, Merajut Kebinekaan". Artikel ini kukirim tanggal 2 Januari 2018. Setelah menunggu selama 2 minggu, Alhamdulillah ada email konfirmasi dari pengelola "Rubrik Guru Menulis" bahwa artikelku dimuat pada Senin, 15 Januari 2018.


Demi meningkatkan karier guru, seorang guru memamg diwajibkan untuk mengembangkan kompetensinya. Salah satunya adalah menulis. Menulis tak melulu harus makalah dan PTK. Menulis artikel ilmiah populer adalah salah satu jalan agar kemampuan kita merangkai kata menjadi kalimat dan bacaan terasah.

Artikel ini adalah artikel keempatku yang dimuat di media massa. Dalam artikel ini, saya membahas tentang asa berbineka melalui mata pelajaran bahasa Daerah. Indonesia memiliki ragam bahasa daerah yang amat banyak. Hal tersebut merupakan aset kebinekaan yang harus dijaga dan dilestarikan agar keberadaannya tidak punah terkikis oleh waktu.

Untuk lebih jelasnya, Silahkan dibaca artikel aslinya yaa.... 


Jumat, 12 Januari 2018

Filosofi Bilangan Dalam Bahasa Jawa

Jumat, Januari 12, 2018 2 Comments
Kemarin melalui group WA ada pesan tentang filosofi bilangan dalam bahasa Jawa. Pengucapan dan penulisan bilangan dalam bahasa Jawa dan Indonesia amatlah berbeda. Dalam bahasa Indonesia bilangan (21) diucapkan dua puluh satu dan seterusnya. Berbeda dengan bahasa Jawa, bilangan (21) diucapkan selikur bukan rong puluh siji dan seterusnya.



Disini terdapat satuan likur dalam penyebutan bilangan ke 20 - 29. Satuan likur tersebut bagi orang Jawa memiliki filosofi yaitu Lingguh Kursi, artinya duduk kursi. Maksudnya adalah manusia diusia 21 - 29 tahun pada umumnya mendapatkan tempat duduk. Tempat duduk disini bisa diartikan pekerjaan. Namun, ada penyimpangan dalam penyebutan bilangan (25) yaitu selawe bukan limang likur. Selawe merupakan kerata basa dari seneng-senenge lanang wedok. Manusia di usia 25 tahun pada umumnya mengalami tahapan kehidupan menyukai lawan jenis. 

Selain penyebutan pada bilangan ke 20 - 29, ada penyimpangan lagi pada bilangan (50) yang diucapkan seket. Setelah 10 (sepuluh), 20 (rong puluh), 30 (telung puluh), 40 (patang puluh), harusnya 50 (limang puluh). Namun, bilangan (50) diucapkan seket.

Seket merupakan kerata basa dari seneng kethunan (suka memakai kopiah/ tutup kepala). Tanda usia semakin lanjut. Tutup kepala bisa menutup kepala dengan pralambang bahwa diusia 50 tahun harus lebih taat dalam beribadah. 

Penyimpangan terjadi lagi pada bilangan (60) yang diucapkan sewidak bukan enem puluh. Sewidak merupakan kerata basa dari sejatine wis wayahe tindak. Kerata basa tersebut bisa diartikan sesungguhnya diusia-usia 60 tahun adalah usia matang. Usia yang sudah siap dipanggil oleh Allah SWT.

Demikian filosofi bilangan dalam bahasa Jawa yang saya dapat dari group WA dan saya deskripsikan dengan bahasa saya sendiri. Semoga bermanfaat.


source: WA group