Selasa, 30 April 2013

Ini Salah Siapa?

Selasa, April 30, 2013 0 Comments

Apa anggapan paling pas bagi bahasa Jawa di mata anak-anak muda sekarang? Bahasa kuno, bahasa katro, apa bahasa ketinggalan jaman? Ironis sekali. Mereka yang diharapkan akan tetap melestarikan budaya Jawa khususnya bahasa Jawa, malah menghindari memakai bahasa Jawa. Mereka jauh lebih bangga jika mahir berbahasa Inggris dibanding berbahasa Jawa. Hal itu juga tidak bisa disalahkan, sebab muncul anggapan bahwa bahasa Inggris bisa membawa ke arah masa depan yang cemerlang. Dewasa ini, tidak bisa dipungkiri bahwa kegunaan bahasa Inggris jauh lebih nyata jika dibandingkan dengan bahasa Jawa. Dalam mencari pekerjaan misalnya. Ada poin yang mengharuskan pelamar untuk mahir berbahasa Inggris, tidak ada yang mencantumkan harus mahir berbahasa Jawa.  
Apa kita harus menunggu klaim negara lain terlebih dahulu? Baru kita akan tersadar bahwa itu merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Kita lihat saja orang-orang Jepang. Mereka bisa jadi besar tanpa harus terpengaruh dengan budaya luar. Mereka bangga menggunakan bahasa Jepang dan mahir menulis dengan huruf kanji. Kira-kira apa salah kita (orang-orang Jawa)? Generasi muda Jawa hanya mengenal bahasa Jawa sebagai mata pelajaran mulok di sekolah, bukan sebagai bahasa yang melekat pada keseharian.
Apa ini 100% kesalahan generasi muda jawa kita? Ataukah pola pendidikan mereka yang sejak awal tidak dikenalkan dengan bahasa Jawa? Kenyataannya, anak-anak sekarang baru mengenal bahasa Jawa ketika mereka masuk sekolah. Umumnya, dilingkungan keluarga mereka tidak pernah berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Hal ini bisa disimpulkan bahwa para orang tua memakai bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam membesarkan anak. Jadi, secara otomatis bahasa ibu anak bukan lagi bahasa Jawa melainkan bahasa Indonesia. Bagi para orang tua terutama pasangan muda, lebih bangga jika memakai bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Ngotani istilah kerennya.
Kebijakan adanya pelajaran mulok bahasa Jawa dari tingkat SD-SMP-SMA akan mubazir jika bibit awal para generasi muda Jawa kita tidak njawani lagi tapi ngotani. Jadi, kita juga tidak bisa 100% menyalahkan mereka jikalau awam terhadap bahasa yang seharusnya menjadi bahasa ibu buat mereka (generasi muda Jawa). Alangkah baiknya jika pembelajaran bahasa Jawa didukung dengan adanya pembiasaan awal dilingkungan keluarga. Dari situlah upaya untuk tetap menjaga keeksisan bahasa Jawa tidak akan mubazir. Pembiasaan awal itulah pokok utama yang bisa membangkitkan bahasa Jawa sebagai basane wong Jawa. Mari kita sebagai orang Jawa memandang fenomena ini sebagai suatu koreksi. Sebelum kita terlena dan kecolongan lagi .